Malam ini cukup dingin. Padahal,
petang memancarkan kilauan cahayanya yang memesona. Hari ini agak berbeda
dengan hari-hari sebelumnya yang biasanya diguyur hujan, sehingga yang tampak
dari langit hanyalah goresan abu-abu gelap yang merata hingga ke kaki langit.
Tapi kali ini, hmm mungkin karena saya sudah cukup lama tak menikmati petang di
angkutan sejuta umat itu ya, langit menghampar begitu indah. Saat saya
terbangun dari tidur nyenyak di 57, mata saya dimanjakan pemandangan yang
begitu memikat. Cuaca petang ini sangat sejuk. Deretan awan menggelayut rendah
di horison langit jingga keabu-abuan.
Kemilau lampu-lampu kendaraan yang merayap sepanjang fly over Gatot
Subroto turut menghiasi pemandangan petang ini. Pada akhirnya, gemintang
lampu-lampu pencakar langit menyempurnakan sore saya yang begitu tenang hari
ini. Alhamdulillah J
Selepas Maghrib, saya memasuki
kawasn terminal Blok M. Akhirnya, saya memutuskan untuk menunaikan ibadah shalat
maghrib di Mesjid Peruri, objek utama yang kali ini akan saya beberkan. Saya
selalu menyukai masjid ini. Selalu. Dan akan tetap begitu. Saya bukanlah
musafir yang gemar menjelajah untuk kemudian mencari masjid-masjid sebagai tempat
ibadah atau tempat perisitirahatan, tapi saya akan selalu menaruh perhatian
pada tiap rumah-Nya yang saya sambangi, dimanapun itu.
Mesjid Peruri terletak di kawasan
Blok M. Saat kalian memasuki terminal Blok M dari arah Wolter Mangunsidi
menggunakan bus, kalian pasti akan melewatinya. Mesjid ini tak sebesar At-Tin
yang kerap menjadi sasaran utama warga Jakarta, bahkan luar kota, untuk itikaf
di bulan Ramadhan. Mesjid ini juga tak semegah Istiqlal yang menjadi kebanggaan
Indonesia di Asia Tenggara. Pun tidak se-eksentrik Masjid BI, yang saya akui,
memiliki interior memukau walau tak terlampau besar. Masjid ini hanya terdiri
dari satu lantai. Tak terlalu besar. Terletak dibawah pepohonan rindang.
Saat memasukinya, hawa teduh
langsung terasa. Begitu nyaman. Masjid ini tidak memiliki halaman. Hanya hamparan
teras yang cukup luas berlapiskan ubin putih sepanjang pintu masuk masjid untuk
pria dan wanita. Cukup banyak jemaah yang menghabiskan waktu duduk-duduk di
teras ini. Entah usai menunaikan shalat, atau sekedar melepas lelah. Tempat
wudhu pria bejajar rapi disepanjang teras. Sedangkan tempat wudhu wanita
terletak di satu sudut ruangan. Masuki wilayah masjid, dan tepat di sudut
ruangan akan ditemukan sebuah space dengan pencahayaan yang cukup, berisikan
deretan keran wudhu wanita bersama dengan dua toilet yang cukup bersih.
Memasuki ruangan masjid.
Tentunya, kawasan wanita. Inilah yang membuat saya selalu menyukai masjid ini.
Teduh. Nyaman. Tenang. Seolah-olah ribuan malaikat turun ke bumi dan bertasbih
mengelilingi masjid ini. Pencahayaan nya sesuai porsi. Tidak terlalu redup,
namun tak terlampau terang. Beberapa kipas angin tergantung, membuat jemaah
semakin nyaman berada disana. Bagian depan dan samping dikelilingi gorden
coklat sebagai pembatas ruang pria dan wanita. Dilantai, terhampar karpet
sajadah dari depan hingga menjelang depan teras. Rak untuk peralatan sholat
tertata rapih. Cermin tertambat di dinding untuk memfasilitasi jemaaah wanita.
Beberapa Al-Quran pun disediakan. Sempurna lah sudah masjid ini sebagai tempat
yang baik untuk meminta dan menghamba kepada-Nya.
Dan disinilah bagian terpenting.
Selama waktu maghrib menuju Isha, setiap saya mengunjungi masjid ini, alunan
sendu surat cinta-Nya senantiasa mengalun dari bibir seorang anak. Laki-laki.
Entah seperti apa rupa anak ini. Suaranya masih begitu polos, ringan, tipis.
Tulus, penuh kepolosan. Ia melantukan ayat suci ditengah-tengah kesunyian waktu
Maghrib. Yang terdengar hanyalah lantunan ayat-Nya dan suara angin dari kipas
yang tergantung. Sebentar ia lancar dan indah melantunkan surat cinta itu,
sebentar ia tergagap. Beberapa kali mengulang potongan kata. Sang guru mencoba
memeperbaiki bacaannya. Anak itu mencoba menirunya, mengulangnya dibagian yang
sama. Ya Tuhan, jiwa-jiwa sombong mana yang tidak akan tetunduk mendengar
alunan Al-Quran meluncur lembut dari mulut seorang anak kecil. Begitu ikhlas,
seperti tanpa dosa. Menyadarkan hati dan pikiran yang tertutup debu akibat
kilau aktivitas dunia. Ingin rasanya aku terus mendengar lantunan ayat suci
itu, agar aku senantiasa ingat kepada-Nya.
Subhanallah. Tulisan ini mungkin
hanya sekedar deskripsi yang berputar-putar. Maaf, karena saya sedang mencoba
membiasakan diri dalam menyusun gagasan. Ada sedikit pesan yang tersirat dari
sini. Rumah Allah, semegah apapun itu, hanyalah puing-puing usang yang tak bermakna
jika tanpa aktivitas peribadatan didalamnya. Doa-doa jemaah bagaikan pemupuk
semangat bagi para pejuang kehidupan. Lantunan ayat suci layaknya guyuran hujan
yang menyejahterakan umat. Tanpa itu, masjid akan mati. Tak bermakna. Mungkin
inilah yang menghadirkan hawa kesejukan di mesjid Peruri tiap saya memasukinya.
Intensitas ibadah yang kontinu, selalu menghadirkan semangat positif bagi
siapapun yang mengunjunginya. Allah akan menyukainya. Memberkahi sang pelantun
doa, dan tempat dimana doa itu dipanjatkan.
Oleh karena itu teman, kalau ada
waktu, mungkin pergi ke Masjid dan mendenyutkan aktivitas keagamaan akan
menjadi pengisi waktu yang baik bagi kita. Hanya sekedar shalat, setidaknya
sudah cukup menunjukkan niat kita untuk mengangungkan rumah-Nya. Hawa positif
di tempat ibadah itu, Insyaallah, juga akan tertular kepada kita. Tak ada
salahnya bukan? Mulailah memuliakan masjid, niscaya Allah akan memuliakan kita J
Jakarta, 5 Januari 2012
*ps: maaf belum menyediakan gambar. Suatu saat Insyaallah diupload :D
No comments:
Post a Comment