Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati merasa tenang (Q.S Ar-Ra'd:28)

Sunday, 19 August 2012

Saya suka masjid ini, dan akan selalu suka :')



Malam ini cukup dingin. Padahal, petang memancarkan kilauan cahayanya yang memesona. Hari ini agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang biasanya diguyur hujan, sehingga yang tampak dari langit hanyalah goresan abu-abu gelap yang merata hingga ke kaki langit. Tapi kali ini, hmm mungkin karena saya sudah cukup lama tak menikmati petang di angkutan sejuta umat itu ya, langit menghampar begitu indah. Saat saya terbangun dari tidur nyenyak di 57, mata saya dimanjakan pemandangan yang begitu memikat. Cuaca petang ini sangat sejuk. Deretan awan menggelayut rendah di horison langit jingga keabu-abuan.  Kemilau lampu-lampu kendaraan yang merayap sepanjang fly over Gatot Subroto turut menghiasi pemandangan petang ini. Pada akhirnya, gemintang lampu-lampu pencakar langit menyempurnakan sore saya yang begitu tenang hari ini. Alhamdulillah J

Selepas Maghrib, saya memasuki kawasn terminal Blok M. Akhirnya, saya memutuskan untuk menunaikan ibadah shalat maghrib di Mesjid Peruri, objek utama yang kali ini akan saya beberkan. Saya selalu menyukai masjid ini. Selalu. Dan akan tetap begitu. Saya bukanlah musafir yang gemar menjelajah untuk kemudian mencari masjid-masjid sebagai tempat ibadah atau tempat perisitirahatan, tapi saya akan selalu menaruh perhatian pada tiap rumah-Nya yang saya sambangi, dimanapun itu.

Mesjid Peruri terletak di kawasan Blok M. Saat kalian memasuki terminal Blok M dari arah Wolter Mangunsidi menggunakan bus, kalian pasti akan melewatinya. Mesjid ini tak sebesar At-Tin yang kerap menjadi sasaran utama warga Jakarta, bahkan luar kota, untuk itikaf di bulan Ramadhan. Mesjid ini juga tak semegah Istiqlal yang menjadi kebanggaan Indonesia di Asia Tenggara. Pun tidak se-eksentrik Masjid BI, yang saya akui, memiliki interior memukau walau tak terlampau besar. Masjid ini hanya terdiri dari satu lantai. Tak terlalu besar. Terletak dibawah pepohonan rindang.

Saat memasukinya, hawa teduh langsung terasa. Begitu nyaman. Masjid ini tidak memiliki halaman. Hanya hamparan teras yang cukup luas berlapiskan ubin putih sepanjang pintu masuk masjid untuk pria dan wanita. Cukup banyak jemaah yang menghabiskan waktu duduk-duduk di teras ini. Entah usai menunaikan shalat, atau sekedar melepas lelah. Tempat wudhu pria bejajar rapi disepanjang teras. Sedangkan tempat wudhu wanita terletak di satu sudut ruangan. Masuki wilayah masjid, dan tepat di sudut ruangan akan ditemukan sebuah space dengan pencahayaan yang cukup, berisikan deretan keran wudhu wanita bersama dengan dua toilet yang cukup bersih.

Memasuki ruangan masjid. Tentunya, kawasan wanita. Inilah yang membuat saya selalu menyukai masjid ini. Teduh. Nyaman. Tenang. Seolah-olah ribuan malaikat turun ke bumi dan bertasbih mengelilingi masjid ini. Pencahayaan nya sesuai porsi. Tidak terlalu redup, namun tak terlampau terang. Beberapa kipas angin tergantung, membuat jemaah semakin nyaman berada disana. Bagian depan dan samping dikelilingi gorden coklat sebagai pembatas ruang pria dan wanita. Dilantai, terhampar karpet sajadah dari depan hingga menjelang depan teras. Rak untuk peralatan sholat tertata rapih. Cermin tertambat di dinding untuk memfasilitasi jemaaah wanita. Beberapa Al-Quran pun disediakan. Sempurna lah sudah masjid ini sebagai tempat yang baik untuk meminta dan menghamba kepada-Nya.

Dan disinilah bagian terpenting. Selama waktu maghrib menuju Isha, setiap saya mengunjungi masjid ini, alunan sendu surat cinta-Nya senantiasa mengalun dari bibir seorang anak. Laki-laki. Entah seperti apa rupa anak ini. Suaranya masih begitu polos, ringan, tipis. Tulus, penuh kepolosan. Ia melantukan ayat suci ditengah-tengah kesunyian waktu Maghrib. Yang terdengar hanyalah lantunan ayat-Nya dan suara angin dari kipas yang tergantung. Sebentar ia lancar dan indah melantunkan surat cinta itu, sebentar ia tergagap. Beberapa kali mengulang potongan kata. Sang guru mencoba memeperbaiki bacaannya. Anak itu mencoba menirunya, mengulangnya dibagian yang sama. Ya Tuhan, jiwa-jiwa sombong mana yang tidak akan tetunduk mendengar alunan Al-Quran meluncur lembut dari mulut seorang anak kecil. Begitu ikhlas, seperti tanpa dosa. Menyadarkan hati dan pikiran yang tertutup debu akibat kilau aktivitas dunia. Ingin rasanya aku terus mendengar lantunan ayat suci itu, agar aku senantiasa ingat kepada-Nya.

Subhanallah. Tulisan ini mungkin hanya sekedar deskripsi yang berputar-putar. Maaf, karena saya sedang mencoba membiasakan diri dalam menyusun gagasan. Ada sedikit pesan yang tersirat dari sini. Rumah Allah, semegah apapun itu, hanyalah puing-puing usang yang tak bermakna jika tanpa aktivitas peribadatan didalamnya. Doa-doa jemaah bagaikan pemupuk semangat bagi para pejuang kehidupan. Lantunan ayat suci layaknya guyuran hujan yang menyejahterakan umat. Tanpa itu, masjid akan mati. Tak bermakna. Mungkin inilah yang menghadirkan hawa kesejukan di mesjid Peruri tiap saya memasukinya. Intensitas ibadah yang kontinu, selalu menghadirkan semangat positif bagi siapapun yang mengunjunginya. Allah akan menyukainya. Memberkahi sang pelantun doa, dan tempat dimana doa itu dipanjatkan.

Oleh karena itu teman, kalau ada waktu, mungkin pergi ke Masjid dan mendenyutkan aktivitas keagamaan akan menjadi pengisi waktu yang baik bagi kita. Hanya sekedar shalat, setidaknya sudah cukup menunjukkan niat kita untuk mengangungkan rumah-Nya. Hawa positif di tempat ibadah itu, Insyaallah, juga akan tertular kepada kita. Tak ada salahnya bukan? Mulailah memuliakan masjid, niscaya Allah akan memuliakan kita J

Jakarta, 5 Januari 2012

*ps: maaf belum menyediakan gambar. Suatu saat Insyaallah diupload :D

No comments:

Post a Comment