Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati merasa tenang (Q.S Ar-Ra'd:28)

Sunday, 19 August 2012

Hidupmu Pemaknaanmu


Kamis, 26 Juli 2012. Malam ke 8, puasa ke 7. Ramadhan ini agak berbeda dari tahun sebelumnya. Tahun lalu saat saya sok sibuk war a-wiri mengurusi mahasiswa baru. Tahun lalu saat hampir seluruh waktu Ramadhan saya dihabiskan di luar rumah. Tahun lalu saat ibu saya kelimpungan mengurus pesanan kue, masakan, dan pekerjaan rumah seorang diri. Dan Ramadhan ini, amat sangat berbeda bagi orang yang tidak betah-an”ngendhok” dirumah seperti saya :p

Apa yang membuatnya berbeda? Pertama, saya tak lagi seorang staf yang menyibukkan diri. Kini saya adalah seorang kakak yang mencoba membimbing, mengawasi, dan menemani adik-adiknya untuk melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan satu tahun lalu. Semoga kemudahan senantiasa bersama adik-adik saya itu J. Kedua.  Alhamdulillah, satu anggota baru lahir ditengah-tengah keluarga kami sekitar 3 bulan yang lalu. Prizio Rafa Prasetya. Mulai Ramadhan ini, si botak gemuk berlesung pipi menggemaskan ini “disekolahkan” di rumah oleh kakak saya (bunda nya zio). Jatah cuti hamil yang habis membuat si dedek kecil harus bersekolah dirumah bersama saya, kedua orangtua saya, dan dua kakak saya. Welcome, baby zio :D

Dua hal diatas ternyata berdampak pada satu hal: Ramadhan ini, saya menghabiskan banyak waktu dirumah, karna ibu saya cukup kerepotan mengurus pesanan kue-masakan-pekerjaan rumah- dan baby zio yang lucu bersamaan dalam satu kesempatan. Efeknya, minimnya perizinan keluar membuat saya menjadi tahanan rumah. Masalah? Tentu. Bagi saya, keterbatasan izin itu seperti keterbatasan hidup (versi agak berlebihan :p). Yang paling menjadi masalah, tentu, karena waktu saya dikampus menjadi terbatas. Ketika sudah dikampus, saya merasa bisa melakukan hal apapun. Seperti tak pernah kehabisan sesuatu untuk dilakukan. Itulah yang membuat saya agak jengkel ketika ibu membatasi jatah kelar saya selama Ramadhan. Ya, jengkel. Jengkel, sebelum saya mulai mendengar dan memahami tentang pemaknaan.

Dalam buku beyond the inspiration karangan seorang islamic inspirator (begitu dia menyebut dirinya) yang luar biasa, Ust.Felix Y. Siauw, ada sebuah pernyataan yang sangat menarik perhatian saya. Di buku ini dtuliskan,  kejadian yang terjadi pada diri kita hakikatnya tidak memiliki nilai, sebelum kita memilih untuk memberi nilai pada kejadian tersebut. Saya lebih senang menyebutnya pemaknaan.

Saya setuju sepenuhnya dengan pernyataan ini. Ketika sesuatu terjadi, tentu, ia hanya rangkaian sebab akibat tak bermakna sebelum kita memberi nilai pada kejadian tersebut. Allah tidak semerta-merta memaknai sendiri kejadian tersebut. Ketika kelulusan dimaknai positif. Kehilangan dimaknai negatif. Kejadian-kejadian itu layaknya sebuah kertas putih yang akan digores oleh pemaknaan dari tiap individu.

Inilah yang belakangan coba saya resapi. Jika dikaitkan dengan “masalah” saya yang dibatasi izin keluarnya, tentu saya akan memaknai kejadian ini sebagai hal negatif. Bagaimana tidak. Saya tak bisa berinteraksi dengan teman lingkungan kampus. Saya tak bisa mendampingi adik-adik secara langsung dalam rangka persiapan orientasi mahasiswa baru. Saya kehilangan kesempatan untuk lebih membangkan diri. itulah alasan-alasan yang membuat kejadian ini bernilai buruk dimata saya. Tapi apakah hasilnya seburuk yang kita bayangkan? Jawabannya, ya. Bahkan mungkin lebih.  Saat kita memaknai sebuah kejadian dengan negatif, maka secara otomatis atmosfer yang terbentuk adalah keburukan. Ketidak ikhlasan. Berat untuk dilalui. Lalu bagaimana jika kejadian itu dimaknai dengan positif? Disinilah letak keajaibannya. Subhanallah, Allah bahkan befirman dalam hadits Qudsi: Aku adalah apa yang hambaku sangkakan. Hadits itu menunjukkan bahwa saat kita bersuudzan bahwa Allah melakukan kejahatan dengan suatu kejadian (yang dimaknai buruk) yang menimpa kita, secara tidak langsung semesta akan membangun atmosfer buruk itu sehingga dapat memperparah kondisi kita. Tapi, ketika kita berhusnudzan kepada Allah dan memaknai suatu kejadian dengan postif, Allah akan mempermudah urusan kita sehingga nilai-nilai kebaikan akan menghampiri kejadian tersebut. Insyaallah. Hidupmu, pemaknaanmu.

Inilah yang membuat saya bersyukur. Ketika saya mencoba untuk “berdamai” dari segala prasangka negatif terhadap Allah dan kejadian itu, hikmah-hikmah positif mulai bermunculan dan membuat saya lebih mudah dalam menerimanya. Ketika saya pikir saya akan membusuk selama Ramadhan di rumah, Alhamdulillah,  saya menemukan banyak hal baik yang mungkin tak akan saya temui jika saya tak terjebak dikondisi ini. Poin pertama. Saya sungguh belajar menjadi sulitnya menjadi seorang ibu rumah tangga. Cuci piring setelah shubuh, setrika baju, cuci baju, jemur baju, dan tetek bengek lainnya menjadi amat sangat melelahkan ketika kita harus melakukan semuanya seorang diri. Belum lagi deringan telfon pemesan aqua yang membuat saya merangkap menjadi seorang operator. Astaghfirullah, ternyata berat sekali perjuangan ibu saya melakukan hal ini puluhan tahun seorang diri. Semoga Allah senantiasa memberkahinya J disamping itu saya juga mempelajari hal-hal yang biasanya jarang saya kerjakan, seperti memasak. Selama Ramadhan ini saya lebih banyak bergulat didapur, menjadi chef menggantikan ibu saya yang sibuk mengurusi pesanan kue. Ilmu masak pun banyak diberikan oleh ibu saya. Dan hasilnya, tempe kering kecap saya habisssss sampai sahur. Hahahaha *evil laugh* ilmu-ilmu yang tak mungkin saya pelajari ketika saya berada di lingkungan kampus.

Poin kedua. Kejadian ini Insyaallah, meberikan kesempatan lebih bagi saya untuk lebih mengenal Allah Swt. Waktu yang tersisa saat saya sedang tidak membantu ibu atau menina bobokkan zio coba saya manfaatkan untuk lebih ber-ma’rifat kepada-Nya. Memperbanyak interaksi dengan kumpulan firman-Nya. Melakukan ibadah shalat pengiring shalat wajib, dan lain sebagainya. Hal yang akan sulit saya temui ketika berada di lingkungan kampus karna terlau menyibukkan diri  mengurus a dan b, atau sekedar berinteraksi dengan teman sebaya.

Poin terakhir. Saya belajar banyak. Sekali. Betapa berat menjadi seorang ibu. Bukan ibu rumah tangga. Yang saya bicarakan adalah ibu yang murni mengurus anak. Betapa besar pengorbanan seorang ibu, dan saya merasakan seper seratus darinya. Bagaimana kita harus cerdas membaca kondisi anak berumur 3 bulan. Bagaiman menenangkannya ketika ibunya tak berada di sekitarnya. Bagaiaman cara membuatnya nyaman. Bagaimana cara mebuatnya berhenti menangis. Bagaimana cara memandikannya. Bagaiman cara mengganti popok. Dan masih banyak lagi sedikit ilmu mengurus anak lainnya. Dan tahukah kalian? Tak salah jika ada pepatah surga di telapak kaki ibu, karna seorang ibu rela melakukan apapun bahkan sekedar untuk membuat anaknya tidak menangis. Menggendong sekian lama, menggoyang-goyang keranjang bayi hingga mengantuk, sedangkan si anak masih terjaga. Memperingati saat ada yang melakukan kegaduhan. Enggan tidur sebelum anaknya tidur. Tak henti mengajak anak bicara, bahkan saat ia belum mampu merespons. Dan masih banyak hal lainnya. Terlihat sepele memang, namun saat kita mengamati dan mencoba nya secara langsung, kita akan semakin belajar bahwa tak pernah mudah menjadi seorang istri, dan juga seorang ibu. Akankah saya temui pengalaman seperti ini di lingkungan kampus? Tidak.

Bahkan, percaya tatau tidak, Allah akan memberikan “bonus” kepada kita saat kita berhusnudzan terhadap keputusan-Nya dan memaknai positif kejadian yang kita alami. Dua kali saya diberikan kesempatan keluar oleh ibu, padahal saya tahu ia akan sangat kerepotang menurus semua hal itu sendiri dalam waktu yang bersamaan. Saya sangat bersyukur, dan ssay saya keluar rumah doa saya adalah semoga saya tidak sedang mendzlimi ibu saya. Dua kesempatan itu akhirnyaya saya manfaatkan untuk menjemput ilmu baru :D  Dan saat itu saya merasa memiliki waktu yang sangat berarti. Alhamdulillah J

Ilustrasi singkat penutup cerita saya ini,adalah kejadian yang saya alami hari ini, kams 26 Juli 2012 sekitar pukul 08.30 malam. Saat saya baru saja menyelesaikan rangkaian ritual di malam Ramdhan, saya melihat tante saya tengah meletakkan gelas-gelas bekas berbuka hari ini. Dia habis mencuci piring, rupanya. Saya pun melewatinya dan memasuki kamar. Saat itu, saya mencari sebuah pulpen untuk mengerjakan sesuatu. Kakak perempuan saya menawarkan bantuan sambil bercanda. Akhirnya, saya menemukan pulpen itu di deretan rak dan, ups. Tangan saya mendadak hitam lantaran tinta pulpen itu ternyata bocor cukup parah. Kakak saya hanya bilang, “ga tau loh ya” sambil tertawa dan senyum-senyum. Apa yang ada di pikiran teman-teman saat hal ini menimpa kalian? “ah elah, ada aja lagi.” Mugnkin akan seperti itu. Pemaknaan negatif. Tau apa yang etrjadi selanjutnya? Saya pergi ke dapur untuk mencuci tangan, dan ternyata disana masih ada sisa-sisa piring dan gelas yang sepertinya belum diselesaikan tante saya. tidak mungkin kan jika saya hanya mencuci tangan tanpa mencuci piring-gelas itu? Dan saat itu, saya mencoba memberi pemaknaan positif: “Hmm emang disuruh nyuci piring nih kayanya. Berarti Allah masih mau ngeliat saya berbuat kebaikan.” Dan saat itu, apakah pemaknaan positif itu banyak membantu? Ya, setidaknya mebuat saya lebih ikhlas dan senang ketika melakukannya. Tidak ada ruginya memaknai hidup dan segala kejadian di hidup ini dengan positif. Karena efek nya juga akan kembali kepada kita. Jadi, masih mau mengumpat dan memaknai hidup dengan negatif? Yuk sama-sama kita belajar dan rubah kebiasaan. Selamat mencoba :D



No comments:

Post a Comment