Kamis, 26 Juli
2012. Malam ke 8, puasa ke 7. Ramadhan ini agak berbeda dari tahun sebelumnya.
Tahun lalu saat saya sok sibuk war a-wiri mengurusi mahasiswa baru. Tahun lalu
saat hampir seluruh waktu Ramadhan saya dihabiskan di luar rumah. Tahun lalu
saat ibu saya kelimpungan mengurus pesanan kue, masakan, dan pekerjaan rumah
seorang diri. Dan Ramadhan ini, amat sangat berbeda bagi orang yang tidak
betah-an”ngendhok” dirumah seperti saya :p
Apa yang
membuatnya berbeda? Pertama, saya tak lagi seorang staf yang menyibukkan diri.
Kini saya adalah seorang kakak yang mencoba membimbing, mengawasi, dan menemani
adik-adiknya untuk melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan satu tahun
lalu. Semoga kemudahan senantiasa bersama adik-adik saya itu J. Kedua. Alhamdulillah, satu anggota baru lahir
ditengah-tengah keluarga kami sekitar 3 bulan yang lalu. Prizio Rafa Prasetya.
Mulai Ramadhan ini, si botak gemuk berlesung pipi menggemaskan ini
“disekolahkan” di rumah oleh kakak saya (bunda nya zio). Jatah cuti hamil yang
habis membuat si dedek kecil harus bersekolah dirumah bersama saya, kedua
orangtua saya, dan dua kakak saya. Welcome, baby zio :D
Dua hal diatas
ternyata berdampak pada satu hal: Ramadhan ini, saya menghabiskan banyak waktu
dirumah, karna ibu saya cukup kerepotan mengurus pesanan kue-masakan-pekerjaan
rumah- dan baby zio yang lucu bersamaan dalam satu kesempatan. Efeknya,
minimnya perizinan keluar membuat saya menjadi tahanan rumah. Masalah? Tentu.
Bagi saya, keterbatasan izin itu seperti keterbatasan hidup (versi agak
berlebihan :p). Yang paling menjadi masalah, tentu, karena waktu saya dikampus
menjadi terbatas. Ketika sudah dikampus, saya merasa bisa melakukan hal apapun.
Seperti tak pernah kehabisan sesuatu untuk dilakukan. Itulah yang membuat saya
agak jengkel ketika ibu membatasi jatah kelar saya selama Ramadhan. Ya,
jengkel. Jengkel, sebelum saya mulai mendengar dan memahami tentang pemaknaan.
Dalam buku
beyond the inspiration karangan seorang islamic inspirator (begitu dia menyebut
dirinya) yang luar biasa, Ust.Felix Y. Siauw, ada sebuah pernyataan yang sangat
menarik perhatian saya. Di buku ini dtuliskan,
kejadian yang terjadi pada diri kita hakikatnya tidak memiliki nilai,
sebelum kita memilih untuk memberi nilai pada kejadian tersebut. Saya lebih
senang menyebutnya pemaknaan.
Saya setuju
sepenuhnya dengan pernyataan ini. Ketika sesuatu terjadi, tentu, ia hanya
rangkaian sebab akibat tak bermakna sebelum kita memberi nilai pada kejadian
tersebut. Allah tidak semerta-merta memaknai sendiri kejadian tersebut. Ketika
kelulusan dimaknai positif. Kehilangan dimaknai negatif. Kejadian-kejadian itu
layaknya sebuah kertas putih yang akan digores oleh pemaknaan dari tiap
individu.
Inilah yang
belakangan coba saya resapi. Jika dikaitkan dengan “masalah” saya yang dibatasi
izin keluarnya, tentu saya akan memaknai kejadian ini sebagai hal negatif.
Bagaimana tidak. Saya tak bisa berinteraksi dengan teman lingkungan kampus.
Saya tak bisa mendampingi adik-adik secara langsung dalam rangka persiapan
orientasi mahasiswa baru. Saya kehilangan kesempatan untuk lebih membangkan
diri. itulah alasan-alasan yang membuat kejadian ini bernilai buruk dimata
saya. Tapi apakah hasilnya seburuk yang kita bayangkan? Jawabannya, ya. Bahkan
mungkin lebih. Saat kita memaknai sebuah
kejadian dengan negatif, maka secara otomatis atmosfer yang terbentuk adalah
keburukan. Ketidak ikhlasan. Berat untuk dilalui. Lalu bagaimana jika kejadian
itu dimaknai dengan positif? Disinilah letak keajaibannya. Subhanallah, Allah
bahkan befirman dalam hadits Qudsi: Aku adalah apa yang hambaku
sangkakan. Hadits itu menunjukkan bahwa saat kita bersuudzan bahwa Allah
melakukan kejahatan dengan suatu kejadian (yang dimaknai buruk) yang menimpa
kita, secara tidak langsung semesta akan membangun atmosfer buruk itu sehingga
dapat memperparah kondisi kita. Tapi, ketika kita berhusnudzan kepada Allah dan
memaknai suatu kejadian dengan postif, Allah akan mempermudah urusan kita
sehingga nilai-nilai kebaikan akan menghampiri kejadian tersebut. Insyaallah. Hidupmu,
pemaknaanmu.
Inilah yang
membuat saya bersyukur. Ketika saya mencoba untuk “berdamai” dari segala
prasangka negatif terhadap Allah dan kejadian itu, hikmah-hikmah positif mulai
bermunculan dan membuat saya lebih mudah dalam menerimanya. Ketika saya pikir
saya akan membusuk selama Ramadhan di rumah, Alhamdulillah, saya menemukan
banyak hal baik yang mungkin tak akan saya temui jika saya tak terjebak
dikondisi ini. Poin pertama. Saya sungguh belajar menjadi sulitnya menjadi seorang
ibu rumah tangga. Cuci piring setelah shubuh, setrika baju, cuci baju, jemur
baju, dan tetek bengek lainnya menjadi amat sangat melelahkan ketika kita harus
melakukan semuanya seorang diri. Belum lagi deringan telfon pemesan aqua yang
membuat saya merangkap menjadi seorang operator. Astaghfirullah, ternyata berat
sekali perjuangan ibu saya melakukan hal ini puluhan tahun seorang diri. Semoga
Allah senantiasa memberkahinya J
disamping itu saya juga mempelajari hal-hal yang biasanya jarang saya kerjakan,
seperti memasak. Selama Ramadhan ini saya lebih banyak bergulat didapur,
menjadi chef menggantikan ibu saya yang sibuk mengurusi pesanan kue. Ilmu masak
pun banyak diberikan oleh ibu saya. Dan hasilnya, tempe kering kecap saya
habisssss sampai sahur. Hahahaha *evil laugh* ilmu-ilmu yang tak mungkin saya
pelajari ketika saya berada di lingkungan kampus.
Poin kedua.
Kejadian ini Insyaallah, meberikan kesempatan lebih bagi saya untuk lebih
mengenal Allah Swt. Waktu yang tersisa saat saya sedang tidak membantu ibu atau
menina bobokkan zio coba saya manfaatkan untuk lebih ber-ma’rifat kepada-Nya.
Memperbanyak interaksi dengan kumpulan firman-Nya. Melakukan ibadah shalat
pengiring shalat wajib, dan lain sebagainya. Hal yang akan sulit saya temui ketika
berada di lingkungan kampus karna terlau menyibukkan diri mengurus a dan b, atau sekedar berinteraksi
dengan teman sebaya.
Poin terakhir.
Saya belajar banyak. Sekali. Betapa berat menjadi seorang ibu. Bukan ibu rumah
tangga. Yang saya bicarakan adalah ibu yang murni mengurus anak. Betapa besar
pengorbanan seorang ibu, dan saya merasakan seper seratus darinya. Bagaimana
kita harus cerdas membaca kondisi anak berumur 3 bulan. Bagaiman menenangkannya
ketika ibunya tak berada di sekitarnya. Bagaiaman cara membuatnya nyaman.
Bagaimana cara mebuatnya berhenti menangis. Bagaimana cara memandikannya.
Bagaiman cara mengganti popok. Dan masih banyak lagi sedikit ilmu mengurus anak
lainnya. Dan tahukah kalian? Tak salah jika ada pepatah surga di telapak kaki
ibu, karna seorang ibu rela melakukan apapun bahkan sekedar untuk membuat
anaknya tidak menangis. Menggendong sekian lama, menggoyang-goyang keranjang
bayi hingga mengantuk, sedangkan si anak masih terjaga. Memperingati saat ada
yang melakukan kegaduhan. Enggan tidur sebelum anaknya tidur. Tak henti
mengajak anak bicara, bahkan saat ia belum mampu merespons. Dan masih banyak
hal lainnya. Terlihat sepele memang, namun saat kita mengamati dan mencoba nya
secara langsung, kita akan semakin belajar bahwa tak pernah mudah menjadi seorang
istri, dan juga seorang ibu. Akankah saya temui pengalaman seperti ini di
lingkungan kampus? Tidak.
Bahkan,
percaya tatau tidak, Allah akan memberikan “bonus” kepada kita saat kita
berhusnudzan terhadap keputusan-Nya dan memaknai positif kejadian yang kita
alami. Dua kali saya diberikan kesempatan keluar oleh ibu, padahal saya tahu ia
akan sangat kerepotang menurus semua hal itu sendiri dalam waktu yang
bersamaan. Saya sangat bersyukur, dan ssay saya keluar rumah doa saya adalah
semoga saya tidak sedang mendzlimi ibu saya. Dua kesempatan itu akhirnyaya saya
manfaatkan untuk menjemput ilmu baru :D Dan
saat itu saya merasa memiliki waktu yang sangat berarti. Alhamdulillah J
Ilustrasi
singkat penutup cerita saya ini,adalah kejadian yang saya alami hari ini, kams
26 Juli 2012 sekitar pukul 08.30 malam. Saat saya baru saja menyelesaikan
rangkaian ritual di malam Ramdhan, saya melihat tante saya tengah meletakkan
gelas-gelas bekas berbuka hari ini. Dia habis mencuci piring, rupanya. Saya pun
melewatinya dan memasuki kamar. Saat itu, saya mencari sebuah pulpen untuk
mengerjakan sesuatu. Kakak perempuan saya menawarkan bantuan sambil bercanda. Akhirnya,
saya menemukan pulpen itu di deretan rak dan, ups. Tangan saya mendadak hitam
lantaran tinta pulpen itu ternyata bocor cukup parah. Kakak saya hanya bilang,
“ga tau loh ya” sambil tertawa dan senyum-senyum. Apa yang ada di pikiran
teman-teman saat hal ini menimpa kalian? “ah elah, ada aja lagi.” Mugnkin akan
seperti itu. Pemaknaan negatif. Tau apa yang etrjadi selanjutnya? Saya pergi ke
dapur untuk mencuci tangan, dan ternyata disana masih ada sisa-sisa piring dan
gelas yang sepertinya belum diselesaikan tante saya. tidak mungkin kan jika
saya hanya mencuci tangan tanpa mencuci piring-gelas itu? Dan saat itu, saya
mencoba memberi pemaknaan positif: “Hmm emang disuruh nyuci piring nih kayanya.
Berarti Allah masih mau ngeliat saya berbuat kebaikan.” Dan saat itu, apakah
pemaknaan positif itu banyak membantu? Ya, setidaknya mebuat saya lebih ikhlas
dan senang ketika melakukannya. Tidak ada ruginya memaknai hidup dan segala
kejadian di hidup ini dengan positif. Karena efek nya juga akan kembali kepada
kita. Jadi, masih mau mengumpat dan memaknai hidup dengan negatif? Yuk
sama-sama kita belajar dan rubah kebiasaan. Selamat mencoba :D
.jpg)